Jumat, 21 September 2012

Tabrakan Beruntun, Tiga Orang Tewas



Tabrakan Beruntun, Tiga Orang Tewas

Tabrakan beruntun terjadi di Jalan Raya Karanganyar, perbatasan antara Kabupaten Purworejo dengan Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Jumat (21/9). Tabrakan yang melibatkan sebuah truk tronton dan dua mobil ini menewaskan tiga penumpang dan delapan lainnya luka-luka. 

Ketiga jenazah hingga kini masih berada di Rumah Sakit PKU Muhamadiyah Sruweng, Kebumen. Sementara delapan korban luka masih dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Kebumen. Kecelakaan ini menyebabkan kemacetan di Jalan Raya Karanganyar hingga lima jam lantaran menunggu bangkai kendaraan disingkirkan dari tengah jalan.

RABU, 19 SEPTEMBER 2012

34 Anak Jadi Tersangka Kecelakaan Lalu Lintas







Satuan Lalu Lintas Polrestabes Makassar menetapkan 34 pengendara di bawah umur sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan lalu lintas selama tahun 2012. Mayoritas pengendara cilik yang terlibat kasus kecelakaan menggunakan sepeda motor. Dari total itu, ada korban sebanyak 89 orang.



Kepala Satuan Lalu Lintas Polrestabes Makassar, Ajun Komisaris Besar Lafri Prasetyono mengatakan mayoritas korban pengendara cilik merupakan pejalan kaki dan orang yang dibonceng.

Jika dibandingkan data tahun lalu, angka kecelakaan pengendara dibawah umur tidak mengalami peningkatan. "Tahun lalu, tersangka ada 49 orang dan korbannya ada 189 orang," ujar Lafri di kantornya, Selasa 18 September 2012.

Meski ditetapkan tersangka, karena statusnya yang masih di bawah umur membuat kepolisian hanya memberikan sanksi berupa pembinaan. Pengendara cilik ini kemudian dikembalikan ke orangtua dan dalam pengawasan. Salah satu contoh kasus kecelakaan pengendara cilik yang menonjol terjadi akhir Januari lalu.

Kala itu, seorang pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Makassar mengendarai mobil Honda Jazz menabrak di lima lokasi, mulai dari Jalan Andi Tonro sampai Jalan Daeng Tata. Mobil berwarna merah yang dikendarainya di lokasi terakhir diamuk massa. Pelaku menabrak sejumlah kendaraan dan warga. Beruntung, tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu.

Guna menekan angka kecelakaan lalu lintas di kalangan pelajar, polisi sudah menyiapkan beragam strategi. Diantaranya, bekerjasama dengan sekolah menanamkan sejak dini perihal keselamatan berlalu lintas. "Kami punya program polisi cilik. Sebelumnya juga dalam dimasukkan dalam kurikululum tentang kesadaran dan tertib lalu lintas," ujarnya.

Juru Bicara Polda Sulselbar, Komisaris Besar Chevy Achmad Sopari mengatakan, yang tidak kalah pentingnya guna menekan angka kecelakaan di kalangan anak di bawah umur yakni peran orangtua. "Orangtua jangan memberikan kendaraan kepada anaknya jika belum cukup umur karena bisa membahayakan si anak dan pengguna jalan lain," katanya.

Hal lain, kepolisian juga akan semakin meningkatkan pengawasan dalam penerbitan Surat Ijin Mengemudi (SIM) Dengan begitu, pemohon SIM yang coba "mencuri" umur bisa dideteksi. Mengenai fenomena balap liar, pihaknya sudah menyiagakan petugas di titik rawan untuk langsung membubarkan jika menemukannya. Dalam waktu dekat, kepolisian juga berencana menggelar road race sebagai wadah bagi remaja yang hendak menyalurkan bakat dan minatnya di bidang otomotif. 




Mahasiswa UIN Tewas Tertabrak Bus


Jakarta - Ayu Andriani, 18 tahun, tewas tertabrak bus Prima Jasa di Jalan Re Martadinata, Ciputat, sekitar pukul 12.30, Ahad, 16 September 2012. Ayu diketahui mahasiswa Universitas Islam Negeri Jakarta angkatan 2012 jurusan Matematika.

"Korban tewas di TKP (Tempat Kejadian Perkara)," kata Kepala Unit Kecelakaan Lalu Lintas Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan, Ajun Komisaris Sigit Purwanto, kepada Tempo, Ahad 16 September 2012.

Sigit menjelaskan, kejadian berawal ketika kendaraan bus Prima Jasa bernomor polisi B-7481-YZX yang dikendarai  Ink Hariadi, 44 tahun, melaju dari arah selatan ke utara di Jalan RE Martadinata. Sesampainya di depan show room Suzuki tiba-tiba dari arah belakang datang kendaraan motor Mio bernomor polisi B-6334-NPY yang dikendarai Ayu Andriani hendak menyalip dari kiri.

Tidak dapat mengendalikan kendaraan, Ayu menyerempet trotoar yang ada di kiri jalan. "Korban terjatuh, sehingga kecelakaan tidak dapat dihindarkan," ujarnya.

Saat ini korban masih berada di Rumah Sakit Fatmawati, karena belum ada keluarga yang mengambil jenazahnya. "Korban dibawa ke RS Fatmawati," ujarnya.

Anggota DPRD Tewas Tertabrak Motor



foto




Jakarta-Muhlan Safri, 60 tahun, anggota DPRD Kabupaten Waringin Timur, Kalimantan Tengah, tewas setelah tertabrak sepeda motor di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Mulan mengembuskan nafasnya yang terakhir di ruang Instalasi Gawat Darurat RS Cipto Mangunkusumo, Sabtu 8 September 2012 petang tadi.

Kepala Unit Kecelakaan Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya, Ajun Komisaris Anton, mengatakan, Muhlan tertabrak saat menyeberang jalan pagi tadi sekitar Pukul 7.30. “Saat kejadian korban dan pengemudi sepeda motor mengalami luka-luka dan dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,” katanya, Sabtu 8 September 2012.

Pengendara sepeda motor adalah Marianto, 41 tahun. Dia sebelumnya mengendarai sepeda motor bernomor polisi B 6342 PGN dari arah utara ke selatan. Tapi kemudian Marianto, disebutkan Anton, masuk ke jalur Bus Transjakarta.

Sesampainya di depan Shelter Senen, Marianto menabrak Muhlan yang berjalan menyeberang dari arah timur ke barat. "Kecelakaan tak dapat dihindari, dan keduanya terjatuh mengalami luka-luka," ujarnya.

Berdasarkan identitas yang ditemukan, Muhlan beralamat di Jalan A Yani No 47 Rt 25 Rw 11, Mentawai Baru Hulu, Waringin Timur, Kalimantan Tengah. “Korban rencananya akan dibawa ke Kalimantan,” ujar Anton.

Sruduk Empat Motor, Pria Tua Dikeroyok Massa



JUM''AT, 24 AGUSTUS 2012 | 00:09 WIB

foto


Jakarta: Seorang pria tua menjadi sasaran kemarahan massa karena mobil yang dikendarai menabrak empat  empat sepeda motor di   Kebon Nanas, Jakarta Timur, Kamis, 23 Agustus 2012. Mobil Isuzu Panthernya juga dirusak. "Kalau dia tidak kabur,  pasti tidak dikeroyok," kata Rafli,  warga setempat. 

Kejadian itu berlangsung sekitar pukul 16.00. Saat itu rombongan pelayat menggunakan sepeda motor baru pulang dari pemakaman Kebon Nanas. Di lampu merah Kebon Nanas, Isuzu Panther yang dikendarai Thomas Aceu, 60 tahun, menerobos masuk dari Jalan Oto Iskandar Dinata. Padahal saat itu lampu sudah  menyala merah. Mobil menabrak motor pelayat yang dikendarai  Rian.  

Melihat ada anggota rombongan ditabrak, para pelayat menjadi marah. Mereka mengebrak kaca mobil dan meminta pengemudi turun. Namun  Thomas justru ketakutan. Bukannya turun dari mobil dia justru tancap gas. Akibatnya, tiga motor lain menjadi korban.  

Rombongan pelayat bertambah marah dan mengejar Thomas. Di Pasar Gembrong, mobil berhasil dihentikan. Pelayat memaksa Thomas keluar dari mobil dan memukuli lelaki itu.  Aksi massa itu baru berhenti setelah polisi datang melerai. 

Thomas Aceu, mengaku salah karena menabrak motor korban. Namun dia tidak berniat untuk kabur.  "Saya ingin mencari kantor polisi dan menyelesaikan masalah di sana," ujarnya.  Namun di sepanjang jalan yang dilewati, dia tidak menemukan kantor polisi. 

Akibat kecelakaan itu, empat sepeda motor rusak.  Sedangkan mobil Thomas rusak parah. Kaca mobil pecah dan body mobil remuk. Telpon genggam milik Thomas yang disimpan di dalam laci dahsbord mobil juga hilang. Sedangkan para pengendara motor yang ditabrak Thomas mengalami cedera ringan.

Kekhalifahan Dinasti Fatimiyah


  1. Awal Berdirinya Dinasti Fatimiyah
Telah disebutkan bahwa ketika dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah, lahirlah kekhalifahan Fatimiyah, salah satu dinasti Islam beraliran Syi’ah Isma’liah, pada 909 M di Afrika Utara setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa. Dalam sejarah, kejayaan dinasti Fatimah datang setelah pusat kekuasaannya di pindahkan dari Tunisia (al-Mahdiah) ke Mesir. Kekuasaan Syi’ah tersebut berakhir pada 1171 M. kekhalifahan Fatimiyah lahir sebagai manifestasi dari idealisme orang-orang Syi’ah yang beranggapan bahwa yang berhak memangku jabatan imamah adalah keturuna dari Fatimah Binti Rasulullah. Kekhalifahan ini lahir diantara dua kekuatan politik, Abbasiyah di Baghdad, dan Umayah II di Cordova. Sebenernya golongan Syi’ah sudah lama mencita-citakan berdirinya kekhalifahan sejak pudarnya kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib di Kufah. Mereka selalu mendapat tekanan-tekanan politik semasa priode kehalifahan Umayah hingga Abbasiyah. Itulah sebabnya mereka tidak berani menampakkan kegiatan politik terhadap pemerintah Umayah maupun Abbasiyah. Dalam kegiatan politiknya, mereka melakukan gerakan Taqiyahyang kelihatannya taat terhadap penguasa tetapi sebenarnya mereka menyusun kekuatan secara diam-diam (Karim, 2003 (1): 95-96 dan Rahman, 1977: 262-276).


Di daerah Al-Magrib terdapat sekelompok orang Syi’ah yang mendapatkan banyak dukungan dari orang penganut mazhab Maliki. Daerah itu kemudian berkembang menjadi daerah yang memberikan angin segar bagi tumbuh suburnya ide-ide mereka (Hasan, 1958: 112). Dari segi geografis, daerah ini sangat menguntungkan karena jauh dari pengwasan Damaskus maupun Baghdad. Di tengah-tengah keleluasaan inilah mereka memiliki kesempatan emas untuk mendirikan kekuasaan diam-diam. Sejarah menuturkan, bahwa pendiri dinasti Fatimiyah adalah Sa’id ibn Husain (kemungkinan ia adalah keturunan Abdullah ibn Maimun, pemimpin Syi’ah dari Persia). Sejak berdirinya dinasti Abbasiyah, mereka secara diam-diam menyebarkan misi Isma’liah di bawah pimpinan yang cermat. Gerakan ini berhasil membangun fondasi yang kuat bagi berdirinya dinasti Fatimiyah. Pada akhir abad ke 9 M, Abu Abdullah Al-Husain Al-Syi’I, salah seorang propagandis utama dari pemimpin Syi’ah Isma’liah, berasal dari Yaman, memperkenalkan diri dari kalangan orang Kitama, anak dari suku Berber di Afrika Utara, sebagai utusan utama dari Imam Mahdi. Al-Syi’I berhasil mempengaruhi masyarakat Berber tersebut untuk mengikuti misinya. Pada saat itu, Ziadatullah Al-Aghlabi 903-909 M (dinasti Aghlabiah) sedang berkuasa di Afrika Utara yang berpusat di Sijilmasa. Pasukan Al-Syi’i berhasil mengalahkan pasukan Aghlabi sebanyak dua kali. Al-Syi’i kemudian mengundang Sa’id agar datang untuk memangku jabatan sebagai pemimpin (Karim, 2003 (1): 96-97). Mendengar kemajuan Al-Syi’i, Sa’id meninggalkan Salamiah, pusat kegiatan Syi’ah secara rahasia, menuju ke Afrika Utara dengan menyamar sebagai pedagang. Berita kepergian Sa’id berhasil di dengar oleh khalifah Abbasiyah di Baghdad yang kemudian mengirim mata-mata untuk menangkap Sa’id dan pengikutnya. Meskipun menyamar, Sa’id tertangkap di Sijilmasa. Segera Al-Syi’I menuju ke Sijilmasa dan berhasil mengalahkan Ziadatullah (Karim, 1972: 462) dan membebaskannya dari tahanan. Sa’id mengumumkan dirinya sebagai pendiri dinasti Fatimiyah di Raqqadah--sebagai ibukota—sebelah tenggara sekitar 10 mil dari ibukota Sunni, Qayrawan. Mulailah sejak saat itu berdirilah kekhalifahan Fatimiyah dengan khalifah pertama adalah Sa’id dengan gelar Ubaidillah al-Mahdi (Karim, 2003, 1: 96).


Tentang asal-usul Sa’id, para sejarawan berbeda pendapat seperti Ibn Al-Atsir, Ibn Khaldun, Makrizi, dan banyak yang lainnya menyatakan, bahwa ia adalah keturunan dari Fatimah, sedangkan Ibnu Khalikan, Ibnu Ijari, Sayuti, dan Ibnu Tagribirdi menolaknya sebagai keturunan Fatimah (Karim, 2003 (1): 96). Menurut Saunders, tidak seorangpun yang dapat melacak asal-usulnya secara memuaskan. Kesulitan untuk melacak asal-usul tokoh Fatimiyah itu dikarenakan oleh model pergerakan Syi’ah yangUnderground. Karena, bawah tanah tidak bisa dijejaki. Sifat rahasia dalam gerakan Syi’ah menjadi penghalang bagi pencarian bukti-bukti sejarah yang dapat menjelaskan proses gerakan tersebut berlangsung. Hal yang sama juga terjadi dalam pembentukan dinasti Fatimiyah. Sa’id terkenal dengan Imam Ubaidillah Al-Mahdi dengan pusat kekuasaannya di Raqqadah. Karena, Raqqadah terlalu dekat dengan kota pusat Sunni, Qayrawan, maka pusat pemerintahan di pindahan ke Al-Mahdiah, sekitar 16 mil arah tenggara dari Raqqadah pada 915 M (Karim, 2003 (1): 97). Pusat pemerintahan mereka yang baru ini merupakan kenang-kenangan dan sebagai pengekalan dari kerinduan mereka terhadap Imam Al-Mahdi Al-Mutazar. Sebenarnya nama ini diambil dari pendirinya, Ubaidillah Al-Mahdi 909-934 M. (Rahman, 1977: 275). Sepeninggal al-Mahdi, Al-Qain 934-946 M naik takhta. Pada masa ini, armada Fatimah menyerang pantai selatan Perancis dan menaklukan Genoa. Penggantinya Al-Mansur 946-952 M. Semasa khalifah IV, Mu’iz li Dinillah 952-975 M, kekalifahan Fatimiyah memasuki era baru (Rahman, 1977: 140-142 dan Karim, 1972: 463-464).


Setelah Mesir diketahui sebagai daerah yang makmur dan penduduknya dapat menerima berbagai aliran mazhab, maka Mu’iz menyerang Mesir dengan alasan untuk melindungi kaum Syi’ah yang ada di sana. Saat itu terjadi sengketa pelaksaan upacara keagamaan mereka antara lain ketika mereka mengadakan perayaan ‘Id al-Gadir (Syalaby, 1973: 428-429). Khalifah berkenan mengirimkan bala tentara di pimpin jenderal Jawhar dengan alasan melindungi para penganut Syi’ah dan merebut kekuasaan dari tangan gubernur Abbasiyah, Abu Al-Khawarij, pada tahun 969 M. pada masa Mu’iz inilah, puncak kejayaan Fatimiyah terukir, ia berhasil menyamai keberhasilan Abdurrahman III di Andalusia. Selama 3 tahun Jawhar berusaha untuk mendirikan dan membangun pusat pemerintahan, Mesir baru, diberi nama Al-Qahira (Kairo) sebagai ganti dari pusat ibukota Mesir pada tahun 639-969 M. Baru setelah Mu’iz datang pada tahun 971 M ke sana, Kairo resmi dijadikan sebagai pusat pemerintahan Fatimiyah sebagai ganti pusat pemerintahan mereka yang lama di Al-Mahdiyah (Karim, 2003 (1): 97).


Pada masa Kahlifah Abu Mansur Nizhar Al-aziz 975-996 M yang terkenal paling pandai, pencinta ilmu dan ambisius, kekusaan Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya, terlebih dalam kegiatan intelektual. Guna kegiatan ilmiah ia membangun Dar al-Hikmah di Kairo. Kekuasaannya meliputi dari Samudera Atlantik sampai ke Laut Merah, Yaman, Makkah, Damaskus, bahkan Mosul pun mengakui kekuasannya yang ditunjukkan dengan penyebutan namanya dalam setiap khutbah Jum’at. Setelah wafat, putranya, Al-Hakim bin Amrillah (Sebutan Hakim) baik tahta, yang berhasil membangun observasium yang terbesar di pegunungan Mukattam. Jika diamati secara historis, pemikiran, paham, dan keyakinan yang dianut oleh khalifah Hakim serta para pengikutnya yang masih eksis dan terkenal sebagai kelompok Hakimiah atau Daruzi jauh dari inti-inti ajaran Islam terutama kepercayaan mereka yang sesat dengan keyakinan, bahwa khalifah ke enam dari dinasti Fatimiyah, Hakim (996-1021 M) memiliki kekuatan ketuhanan dan sejak ia hilang di pegunungan Mukattam, maka (menurut pengikut) akhir dari tanda Tuhan sudah lenyap dari muka bumi, ia tidak mati, dan akan kembali sebagai Imam Mahdi (Karim, 2003, (1): 8 dan Rahman, 1977:283). Sejak itulah masa kejayaan Fatimiyah tahap surut sampai akhirnya pada tahun 1171 M. Khalifah XIV al-Adid ditaklukkan oleh Salah al-Din Ayyubi, maka berakhirlah kekuasaan Fatimiyah selama setengah Abad lebih (Karim, 2003 (1): 101-103).



  1. Kemajuan Dinasti Fatimiyah

Kekhalifahan Fatimiyah yang berdiri di mesir tetap menganut system pemerintahan yang di jalankan oleh kekhalifahan Fatimiyah yang ada di al-maghrib yaitu sistem yang berdasarkan pada pokok pikiran yang menganggap, Imam-Imam mereka bersih dari kesalahan dan dilindungi dari dosa (Hasan 1958:264), karena menurut mereka yang berhak memangku jabatan kepala pemerintahan ialah keturunan dari Fatimah Binti Rasulullah. Mereka ini menisbahkan diri kepada Fatimah, karena beranggapan, bahwa mereka adalah keturunan dari Fatimah putri Rasulullah. Meskipun kadang-kadang mereka disebut ‘Alawin, tetapi mereka tidak pernah menyebut pemerintahannya sebagai Daulah ‘Alawin karena mereka ingin menunjukan pengertian, bahwa yang termasuk golongan Fatimiyah aalah keturunan Ali dari pancaran Fatimah, bukan keturunan Ali dari pancaran ibu yang lain. Orang sunni menyebutkan mereka adalah Ubaydiin yang maknanya pengikut-pengikut Ubaydillah al-Mahdi (Karim,2003(1):95-97). Dari uraian tersebut tampak, bahwa system pemerintahan Fatimiyah bernadakan teokrasi karena menurut anggapan mereka, jabatan Khalifah itu di tentukan oleh (n’ash) seperti yang mereka yakini ketika nabi mewasiatkan kepemimpinan kepada Ali di Gadir Khummah. Kemudian yang menunjukan kebenaran system pemerintahan mereka bersifat teokratis ialah nama-nama yang di berikan kepada keturunan Ali, dan yang berhak menjabat sebagai Khalifah seperti al-Mui’z li Dinillah, al-Aziz Bilah, Biamrillah, al-Zahir li Dinillah dan al-Mustansir Billah. System pengangkatan kepala Negara adalah system penunjukan. Hasan Ibrahim Hasan menerangkan bahwa apabila seorang Khalifah Fatimiyah ajalnya sudah dekat, ia segera menunjuk salah seorang anaknya. Kemudian setelah Khalifah itu meninggal barulah penggantinya tersebut diambil sumpah setianya. Banyak diantara Khalifah yang baru diangkat, menyembunikan kematian ayahnya apabila pada saat itu terjadi suatu ancaman terhadap kekuasannya seperti al-Qaim Billah menyembunyikan kematian al-Qaim Billah, sehingga ia mendapat kemenangan melawan pemberontakan (336 H) dari Abu Yazid. Barulah setelah kemenangannya ia menyiarkan wafat ayahnya.


Dari keterangan ini terlihat bahwa kepala Negara ditentukan melalui penunjukkan sehingga tidak disalahkan kalau ada orang yang mengatakan, bahwa untuk pemerintahan Fatimiyah bersifat monarki bahkan bisa saja dikatakan monarki absolute (Karim, 2003 (1): 99 dan 102). Pemerintahak dipimpin oleh seorang khalifah, di bawahnya terdapat menteri-menteri yang bertanggunjawab kepada khalifah. Mereka ini memiliki jabatan masing-masing, dan bertanggungjawab pula terhadap tugas yang diserahkan kepada mereka. Jabatan menteri ini diserahkan kepada orang yang mampu dan memilki kecakapan dalam urusan masing-masing. Dalam hal ini, tampak adanya toleransi bahkan ahli dzimah pun apabila memenuhi kecapakan dapat diserahi jabatan mentri. Istilah wazir ini baru tampak pada zaman khalifah al-Aziz Billah, meskipun istilah itu sudah pernah ada pada masa kekuasaan dinasti Toulun (868-905 M) dan Ikhsid (935-969 M). diantara menterinya yang terkenal adalah Yakub ibn Killis, ia diserahi tugas wilayah Mazhalim. Dalam istana terdapat beberapa direktorat (diwan) yang sebagian meneliti urusan pajak yang mengurusi urusan tanah kharaj (Karim, 2003 (1): 99).


Orang Fatimiyah beranggapan bahwa Afrika Utara sebagai tanah air mereka yang kedua. Oleh karena itu,mereka sangat keras dan berhati-hati dalam melaksanakan politik daerah kekuasaannya yang luas dari al-Maghrib sampai Mesir. Sesudah itu merembes ke Syam, Palestina, dan Hijaz serta Yaman. Pusat pemerintahan terletak di Mesir (Kairo) sebagai pusat pengendali pemerintahan yang sedemikian luas itu (Karim, 2003 (1): 99). Wilayah kekuasaan terbagi menjadi 4, yaitu wilayah Qus, yaitu wilayah besar yang meliputi wilayah Mesir. Wilayah timur meliputi wilayah daerah Bilbis, Qoliub dan Asymum. Wilayah barat yang meliputi Manup dan Abyar. Wilayah Iskandar, yang meliputi pesisir laut tengah. Disamping itu, juga terdapat tata administrasi yang memiliki tugas mengurusi kelancaran tata pemerintahan: urusan kemiliteran, departemen kemakmuran, urusan perhubungan, dan urusan kepolisian (Karim, 2003 (1): 99-100).


Secara keseluruhan tata administrasi kekhalifahan ini hampir menyerupai tata pemerintahan Umayah dan Abbasiyah. Dalam hal ini mereka mengambil alih dari tata administrasi dan sangat menguntungkan perluasan daerah. Disamping itu, mereka sudah mengenal adanya ketatanegaraan. Hal itu dapat dikenal dengan adanya tata politik, tata administrasi, tata keuangan, tata kemiliteran dan tata peradilan.


Dasar-dasar pranata social kekhalifahan yang berlaku pada kekhalifahan Fatimiyah ini lebih merupakan bersifat teokrasi karena mereka berkeyakinan bahwa khalifah itu ditentukan oleh n’ash artinya system yang berlaku adalah system penunjukan, yang menurut mereka khalifah itu hak dari Ali yang mendapat wasial dari Rasul untuk menggantikannya, dan untuk seterusnya hak khalifah tersebut menjadi hak keturunan Fatimiyah pusat pemerintahan adalah di luar kota Fustat (962-972 M) yaitu sebuah kota yang dibina atas dasar penunjukkan dari seorang ahli perbintangan berkebangsaan Moor yang dibawa oleh Muiz dari Afrika Utara. Kota itu diberi nama al-Qahira (nama sebuah planet merah/Mars). Dalam versi yang lain al-Qahira itu berarti pemenang atau tak terkalahkan (the victorious) (Karim, 2003 (1): 102-103).



  1. Kemunduran Dinasti Fatimiyah

Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan Khilafah al-Hâkim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun. Al-Hâkim memerintah dengan tangan besi, masanya dipenuhi dengan tindak kekerasan dan kekejaman. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja kristen, termasuk sebuah gereja yang di dalamnya terdapat Kuburan Suci umat Kristen. Maklumat penghancuran Kuburan Suci ini ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdûn. Peristiwa ini merupakan salah satu penyebab terjadinya Perang Salib. Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi memakai jubah hitam, dan mereka hanya diperbolehkan menunggangi keledai.  Orang-orang Yahudi dan Nasrani dibunuh dan aturan-aturan tidak ditegakan dengan konsisten.  Ia juga dengan mudah membunuh orang yang tidak disukainya, bahkan pernah membakar sebuah desa tanpa alasan yang jelas. Kemudian pada tahun 381 H / 991 M ia menyerang Aleppo dan berhasil merebut Homz dan Syaizar dari tangan penguasa Arab. Peristiwa  ini menimbulkan sikap oposan dari penduduk dan menyeret  Daulah Fatimiyah  dalam konflik dengan Bizantium. Walaupun pada akhirnya al-Hâkim berhasil mengadakan perjanjian damai dengan Bizantium selama sepuluh tahun.

Al-Hâkim kemudian memilih mengikuti perkembangan ekstrem ajaran Ismailiyah, dan menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Tuhan. Ia meninggalkan istana dan berkelana hingga akhirnya terbunuh di Mukatam pada 13 Pebruari 1021. Kemungkinan ia dibunuh oleh persekongkolan yang dipimpin adik perempuannya, Sitt al-Mulûk, yang telah diperlakukan tidak hormat olehnya.

Al-Hâkim kemudian digantikan oleh az-Zâhir, anaknya sendiri. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 16 tahun. Pada mulanya Dinasti Fatimiyah didirikan oleh bangsa Arab dan orang Barbar, tapi ketika masa az-Zâhir situasi berubah, khalifah lebih mendekati keturunan Turki. Hal ini menjadi pemicu timbulnya pertikaian antara orang Turki dan suku Barbar di dalam pemerintahan Fatimiyah. Az-Zâhir mendapat izin dari Konstantin ke VIII agar namanya disebutkan dimasjid-masjid yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar. Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki masjid yang berada di Konstantinopel. Ini semua sebagai balasan terhadap restu sang khalifah untuk membangun kembali gereja yang didalamnya terdapat Kuburan Suci, dimana dulu gereja ini dihancurkan oleh al-Hâkim.

Setelah meninggal az-Zâhir kemudian digantikan oleh anaknya sendiri yang baru berusia 11 tahun, yaitu al-Mustanshir.  Mulai masa ini sistem pemerintahan Dinasti Fatimiyah berubah menjadi parlementer, artinya khalifah hanya berfungsi sebagai simbol saja, sementara pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para mentri. Oleh karena itulah masa ini disebut “ahdu nufuzil wazara” (masa pengaruh mentri-mentri). Al-Mustanshir sebagaimana juga az-Zâhir lebih mendekati keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar. Perang saudarapun tidak dapat dielakan. Setelah meminta bantuan Badrul Jamal dari Suriah, khalifah dan orang Turki dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah kekuasaan orang Barbar di dalam Dinasti Fatimiyah.

Pada masa al-Mustanshir ini kekuasaan Dinasti Fatimiyah di wilayah Suriah mulai terkoyak dengan cepat.  Sementara di Palestina sering terjadi pemberontakan terbuka. Sebuah kekuatan besar yang datang dari timur, yaitu bani Saljuk dari Turki, juga membayang-bayangi. Pada waktu yang bersamaan propinsi-propinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan pusat kekuasaan, bermaksud memerdekakan diri dan kembali kepada sekutu lama mereka, Dinasti Abasiyyah. Pada tahun 1052, suku Arab yang terdiri dari bani Hilal dan bani Sulaim yang mendiami dataran tinggi Mesir memberontak. Mereka bergerak ke bagian barat dan berhasil menduduki Tripoli dan Tunisia selama beberapa tahun.

Sementara itu pada tahun 1071, sebagian besar wilayah Sisilia, yang mengakui kedaulatan Fatimiyah dikuasai oleh bangsa Normandia yang daerah kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika. Hanya kawasan Semenanjung Arab yang mengakui kekuasaan Fatimiyah.

Az-Zâhir kemudian digantikan oleh al-Mustanshir. Di masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi antara orang-orang Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh dan kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian negara. Di tengah kekacauan itu, pada tahun 1073 khalifah memanggil Badr al-Jamalî, orang Armenia bekas budak dari kegubernuran Akka dan memberinya wewenang untuk bertindak sebagai wazir dan panglima tertinggi. Amîr al-Juyûsî (komandan Perang) yang baru ini mengambil komando dengan seluruh kekuatan yang ia punya untuk memadamkan berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada pemerintahan Fatimiyah. Tapi usaha ini, yang juga diteruskan oleh anak dan penerus al-Mustanshir yaitu al-Afdhal, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti ini.

Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah ditandai dengan munculnya perseteruan yang terus menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Setelah al-Mustanshir wafat, terjadi perpecahan serius dalam tubuh Ismailiah. Perpecahan itu terjadi antara dua kelompok yang berada di belakang kedua anak al-Mustansir yaitu Nizar dan al-Musta’li. Pendukung Nizar lebih aktif, ekstrim dan menjadi gerakan pembunuh. Sedangkan pendukung al-Musta’li lebih moderat. Akhirnya yang terpilih menjadi khalifah adalah al-Musta’li karena ia didukung oleh al-Afdhal. Al-Afdhal mendukung al-Musta’li dengan harapan ia akan memerintah dibawah pengaruhnya. Akan tetapi basis spiritual Ismailiah menjadi runtuh. Setelah al-Musta’li wafat, al-Amin, anak al-Musta’li yang baru berumur lima tahun diangkat sebagai khalifah.

Al-Amin kemudian   digantikan oleh al-Hafidz. Ketika ia meninggal kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan saja. Anak dan penggantinya, az-Zhafir diangkat menjadi khalifah dalam usia yang masih sangat muda hingga. Merasa tidak mampu menghadapi tentara salib, khalifah az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar, meminta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki, penguasa Suriah di bawah kekuasaan Baghdad. Nurudin mengirim pasukannya ke Mesir di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayubi yang kemudian berhasil membendung invasi tentara salib ke Mesir.  Kemudian kekuasaan az-Zafir direbut  oleh wazirnya, Ibnu Sallar. Tapi Ibnu Sallar kemudian dibunuh, dan az-Zafir juga terbunuh secara misterius. Kemudian naiklah al-Faiz, anak az-Zhafir yang baru berusia empat tahun, sebagai khalifah. Khalifah kecil ini meninggal dalam usia 11 tahun dn digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru berumur sembilan tahun. Maka pada tahun 1167 M pasukan Nuruddin az-Zanki untuk kedua kalinya kembai memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan kaum salib tetapi juga untuk menguasai Mesir. Daripada Mesir dikuasai tentara salib, lebih baik mereka sendiri yang menguasainya. Apalagi Perdana Mentri Mesir waktu itu, Syawar, telah melakukan penghianatan. Akhirnya  pasukan Nuruddin berhasil mengalahkan tentara salib dan menguasai Mesir.

Semenjak itu kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Apalagi ia mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas sunni. Peristiwa ini menyebabkan  menguatnya pengaruh Nuruddin Zangki dan panglimanya Salahuddin al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa pemerintahannya Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya Salahuddin menghormati dan memberikan kesempatan kepada orang-orang Fathimy. Namun ketika al-Adhid jatuh sakit pada tahun 555 H / 1160 M, Salahudin al-Ayubi mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk menyelengarakan khutbah dengan menyebut nama khalifah Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuh dan berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayubiyyah.

Dinasti Fatimiyah berkuasa selama 262 tahun, dari tahun 297 H/ 909 M sampai tahun 567 H/ 1171 M. Selama itu berkuasa 14 orang khalifah, yaitu:

1.  Ubaidillah (al-Mahdi) (909-934)

2.  al-Qa’im (934-946)

3.  al-Mansur (946-952)

4.  al-Mu’izz (952-975)

5.  al-Aziz (975-996)

6.  al-Hâkim (996-1021)

7.  az-Zâhir (1021-1035)

8.  al-Mustansir (1035-1094)

9.  al-Musta’li (1094-1101)

10.  al-Amin (1101-1130)

11.  al-Hafiz (1130-1149)

12.  az-Zafir (1149-1154)

13.  al-Fa’iz (1154-1160)

14.  al-Adid (1160-1171)


  1. Kelemahan Dinasti Fatimiyah

Keruntuhan Dinasti Fatimiyah disebabkan oleh beberapa kelemahan yang ada pada masa pemerintahannya. Kelemahan-kelemahan itu antara lain:

  1. Pada fase kedua, sistem pemerintahan berubah menjadi sistem parlementer.
  2. Adanya resistensi dari orang-orang Sunni dan Nasrani di Mesir.
  3. Terjadinya perebutan kekuasaan antara bangsa Barbar dan bangsa Turki terutama dalam bidang militer.
  4. Madzhab Syi’ah.
  5. Datangnya serbuan dari tentara salib.
  6. Lemahnya para khilafah.

 Perluasan wilayah difokuskan ke bagian Timur sementara pembinaan di Afrika Utara terabaikan sehingga menyebabkan berkurangnya pengaruh Dinasti Fatimiyah di sana. Akhirnya Afrika Utara melepaskan diri dan membentuk pemerintahan sendiri. Terlebih lagi, para penguasanya itu selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah, dan adanya pemaksaan ideologi syi’ah kepada rakyat yang mayoritas sunni.

Sultan_Hamid_II
Siapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913.
Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda.

Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.
Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar – karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.
Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat di marah. Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.
Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.
Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. “Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999,” akunya. Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. “Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II,” katanya pasti. Besar harapan masyarakat Kal-Bar dan bangsa Indonesia kepada Presiden RI SBY untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut, demi pengakuan sejarah, sebagaimana janji beliau ketika berkunjung ke Kal-Bar dihadapan tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan anggota DPRD Provinsi Kal-Bar.
Sumber: selokartojaya.blogspot.com

Baracuda Brimob Amankan Konjen AS di Bali


Demo
Demo "Innocence of Muslims" ricuh di Dubes AS Jakarta (Foto: Dede/okezone)
DENPASAR- Mengantisipasi kemungkinan ancaman unjuk rasa dan gangguan kamtibmas lainnya, Kepolisian sejak dua hari terakhir meningkatkan penjagaan dan pengamanan di Kantor Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Jalan Hayum Wuruk, Denpasar.

Berdasar pantauan di Kantor Konjen AS, pengamanan memang terlihat tidak seperti biasanya, beberapa petugas kepolisian bersenjata lengkap nampak berjaga-jaga di sekitarnya.

Selain petugas keamanan yang biasa berjaga 24 jam penuh, kini diperkuat dengan kehadiran petugas kepolisian dari Satuan Brimobada Polda Bali.

Setiap ada pengendara bermotor atau orang yang dipandang mencurigakan berhenti di sekitar kantor, langsung diminta segera bergegas menjauh oleh petugas.

Bahkan setelah tersiar kabar akan adanya aksi unjuk rasa ke Konjen AS, petugas terus memperketat penjagaan baik penyiagaan personel bersenjata maupun kegiatan patroli.

"Memang dari laporan intelijen kami ada rencana aksi demo di Konjen AS, namun sampai hari ini tidak terbukti, kami tetap waspada," kata Kasubag Humas Polresta Denpasar AKP Ida Bagus Made Sarjana, Jumat (21/9/2012).

Jajaran Polda Bali terus berupaya melakukan langkah-langkah dan upaya pengamanan di obyek vital, yang kemungkinan jadi sasaran protes atau ancaman lainnya seperti di Konsul AS.

"Polda Bali tetap akan memberikan pelayanan keamanan maksimal diminta atau tidak sudah menjadi tugas kami untuk menjaga keamanan wilayah," tegas Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Hariadi terpisah.

Terkait operasionalisasi aktivitas dalam kantor Konsul AS, Hariadi mengaku mengaku tidak mengetahui persis.

Pihaknya hanya menempatkan petugas yang terus bersiaga. Soal kegiatan perkantorannya apakah normal atau tutup seperti imbauan Kedubes AS di Jakarta, dia tidak mengetahui pasti, karena bukan kewewenangnya mengetahui lebih jauh urusan tersebut.

Menyusul keberadaan film "Innocense of Moslem's" Konsul AS di Bali terus mendapat penjagaaan ketat. Bahkan, tampak mobil baracuda dan pasukan Brimobda Polda Bali bersenjata lengkap disiagakan di lokasi